Jalan Kokoh Sang Sulung
Melahirkannya adalah hadiah pertama bagiku.
Seorang anak yang kehadirannya dinanti-nanti untuk mewarnai kehidupan keluarga.
Penantian terindah sesudah pernikahan adalah menanti amanah dari Allah Swt.
Sebagai wanita yang sudah menjadi seorang istri, melahirkan anak adalah asa
yang tak terbendung. Saya merasakan ujian awal pernikahan, karena belum ada
tanda-tanda hamil sesudah dua bulan pernikahan. Sang suami hanya berkata, “mungkin
Allah Swt. belum beri kepercayaan buat kita, dek!”. Saya hanya cemburu kepada sahabat
yang menikah dua bulan setelah kami.
Selain alur takdir, kami harus belajar apa
penyebab kami belum diberikan keturunan kala itu. Ya Allah, saya baru sadar jika
kami berdua mantan penggerak organisasi. Mobilitas organisasi tanpa kenal waktu
dan tempat hingga lupa untuk mengontrol kesehatan apatahlagi kesehatan
reproduksi. Saya dulunya biasa di organisasi biasa begadang, gemar meminum kopi
dan pakaian seadanya tak perlu wangi. Terlebih suami yang lebih kuat begadangnya,
penggemar berat kopi dua kali sehari dan pantang tidur sesudah shalat subuh meski
kurang tidur di malam hari. Refleksi dari diskusi bersama suami, akhirnya kami
memutuskan untuk berikhtiar agar dapat diberikan keturunan. Kami mencari cara
tradisional daripada menemui dokter kandungan, karena keadaan ekonomi kami kala
itu hanya suami yang bekerja dengan gaji 400 ribu per bulan.
Alhamdulillah, kami mendapat terapi tradisional
dari ipar yaitu mengurut kandungan rahim. Adik ipar mengajak kami ke tempatnya
di Pare-pare. Dan akhirnya membuahkan hasil pada akhir november 2007. Saya dan
suami gembira tak terkira karena dua bulan bagi kami bagai dua tahun untuk
menanti tanda-tanda akan kehadiran sang sulung.
Suami yang bekerja sebagai karyawan swasta
dengan gaji secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari tak membuat saya mengeluh.
Saya harus berhemat kala itu. Saya tak pernah menuntut banyak saat sang sulung
dalam kandungan. Inilah karunia Allah Swt. diberikan kepada saya, HAMIL
TANPA NGIDAM. Terkadang saya tertawa dengan gaya sang suami, apabila saya
menulis sepuluh daftar keinginan. Tapi, hanya satu saja yang dipenuhi. Tetap
saya syukuri dan sabarkan. Kami sudah terbiasa mengelola mental dari pengalaman
berorganisasi kala masih belajar sebagai mahasiswi.
Ahmad Khawarizmi Raisul Amin, namanya pada awalnya. Saya melahirkannya di sebuah kamar di rumah dinas
kami atas bantuan bidan senior istri sahabat kerja sang suami. Lahir pada
tanggal 26 bulan Juni tahun 2008 pukul 23.26 Wita. Sang suami menghafal semua
tanggal kelahiran anak-anak kami. Untuk pemberian nama, saya serahkan kepada
suami karena dia lebih paham maknanya bila nama Islami yang berasal dari bahasa
Arab. Nama sang sulung dirubah sebelum aqiqah karena jumlah suku katanya
terlalu panjang. Akhirnya namanya dikurangi menjadi Ahmad Khawarizmi.
Namanya sengaja kami sematkan pada sang sulung
dengan harapan bisa mengikuti jejak kakeknya yang notabene pada saat beliau
masih hidup berprofesi sebagai guru matematika. Tetapi jalannya kami ikuti
sesuai batas kemampuannya. Kecenderungan belajar agama lebih tinggi daripada
belajar matematika. Kami mengarahkannya sesudah pendidikan di SD untuk masuk
pondok pesantren.
Saya selalu mengingat pesan Rasulullah Saw. Tentang
tugas orang tua yang teramat mulia:
“Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya lah yang membuatnya menjadi nashrani,
majusi atau Yahudi.”
Wanita sebagai ibu yang
menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, memiliki tugas mulia untuk mengasuh
dan mendidik anak-anak pada masa emasnya sejak 0 tahun hingga memasuki usia
sekolah. Saat usia sekolah, seorang ibu dibantu oleh sekolah untuk mendidik
anak-anaknya. Yang berbeda bagi seorang ibu adalah bagaimana menanamkan tiga
aspek yaitu afektif (perasaan), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan).
Dengan perasaan positif yang dibangun melahirkan kesadaran untuk mengetahui.
Dengan pengetahuan berbuah menjadi amaliyah (perbuatan).
Belajar dari pesan Nabi,
sang sulung mengalami proses pendewasaan dini yang saya rasakan. Pendewasaan
dini terletak pada kesadarannya untuk memahami keadaan yang dilalui. Sang
sulung bagiku adalah cerminan dan tokoh bagi adik-adiknya. Mengarahkannya untuk
bisa belajar mendewasakan diri meski belum saatnya kini yang baru berusia 15
tahun tetap dilakukan agar terarah dalam kehidupan masa depannya kelak.
Saudara ku yg saya kenal dng kegigihan semangatnya yg membara...sehat n bahagia sllau bersama keluarga k herli...
BalasHapus