Gadis Pertama Bernama Qonitah
Immawati Herli
Selasa, 25 April 2023
Si Gadis Pertama bernama Qonitah
Kamis, 16 Maret 2023
Jalan Kokoh Sang Sulung
Jalan Kokoh Sang Sulung
Melahirkannya adalah hadiah pertama bagiku.
Seorang anak yang kehadirannya dinanti-nanti untuk mewarnai kehidupan keluarga.
Penantian terindah sesudah pernikahan adalah menanti amanah dari Allah Swt.
Sebagai wanita yang sudah menjadi seorang istri, melahirkan anak adalah asa
yang tak terbendung. Saya merasakan ujian awal pernikahan, karena belum ada
tanda-tanda hamil sesudah dua bulan pernikahan. Sang suami hanya berkata, “mungkin
Allah Swt. belum beri kepercayaan buat kita, dek!”. Saya hanya cemburu kepada sahabat
yang menikah dua bulan setelah kami.
Selain alur takdir, kami harus belajar apa
penyebab kami belum diberikan keturunan kala itu. Ya Allah, saya baru sadar jika
kami berdua mantan penggerak organisasi. Mobilitas organisasi tanpa kenal waktu
dan tempat hingga lupa untuk mengontrol kesehatan apatahlagi kesehatan
reproduksi. Saya dulunya biasa di organisasi biasa begadang, gemar meminum kopi
dan pakaian seadanya tak perlu wangi. Terlebih suami yang lebih kuat begadangnya,
penggemar berat kopi dua kali sehari dan pantang tidur sesudah shalat subuh meski
kurang tidur di malam hari. Refleksi dari diskusi bersama suami, akhirnya kami
memutuskan untuk berikhtiar agar dapat diberikan keturunan. Kami mencari cara
tradisional daripada menemui dokter kandungan, karena keadaan ekonomi kami kala
itu hanya suami yang bekerja dengan gaji 400 ribu per bulan.
Alhamdulillah, kami mendapat terapi tradisional
dari ipar yaitu mengurut kandungan rahim. Adik ipar mengajak kami ke tempatnya
di Pare-pare. Dan akhirnya membuahkan hasil pada akhir november 2007. Saya dan
suami gembira tak terkira karena dua bulan bagi kami bagai dua tahun untuk
menanti tanda-tanda akan kehadiran sang sulung.
Suami yang bekerja sebagai karyawan swasta
dengan gaji secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari tak membuat saya mengeluh.
Saya harus berhemat kala itu. Saya tak pernah menuntut banyak saat sang sulung
dalam kandungan. Inilah karunia Allah Swt. diberikan kepada saya, HAMIL
TANPA NGIDAM. Terkadang saya tertawa dengan gaya sang suami, apabila saya
menulis sepuluh daftar keinginan. Tapi, hanya satu saja yang dipenuhi. Tetap
saya syukuri dan sabarkan. Kami sudah terbiasa mengelola mental dari pengalaman
berorganisasi kala masih belajar sebagai mahasiswi.
Ahmad Khawarizmi Raisul Amin, namanya pada awalnya. Saya melahirkannya di sebuah kamar di rumah dinas
kami atas bantuan bidan senior istri sahabat kerja sang suami. Lahir pada
tanggal 26 bulan Juni tahun 2008 pukul 23.26 Wita. Sang suami menghafal semua
tanggal kelahiran anak-anak kami. Untuk pemberian nama, saya serahkan kepada
suami karena dia lebih paham maknanya bila nama Islami yang berasal dari bahasa
Arab. Nama sang sulung dirubah sebelum aqiqah karena jumlah suku katanya
terlalu panjang. Akhirnya namanya dikurangi menjadi Ahmad Khawarizmi.
Namanya sengaja kami sematkan pada sang sulung
dengan harapan bisa mengikuti jejak kakeknya yang notabene pada saat beliau
masih hidup berprofesi sebagai guru matematika. Tetapi jalannya kami ikuti
sesuai batas kemampuannya. Kecenderungan belajar agama lebih tinggi daripada
belajar matematika. Kami mengarahkannya sesudah pendidikan di SD untuk masuk
pondok pesantren.
Saya selalu mengingat pesan Rasulullah Saw. Tentang
tugas orang tua yang teramat mulia:
“Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya lah yang membuatnya menjadi nashrani,
majusi atau Yahudi.”
Wanita sebagai ibu yang
menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, memiliki tugas mulia untuk mengasuh
dan mendidik anak-anak pada masa emasnya sejak 0 tahun hingga memasuki usia
sekolah. Saat usia sekolah, seorang ibu dibantu oleh sekolah untuk mendidik
anak-anaknya. Yang berbeda bagi seorang ibu adalah bagaimana menanamkan tiga
aspek yaitu afektif (perasaan), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan).
Dengan perasaan positif yang dibangun melahirkan kesadaran untuk mengetahui.
Dengan pengetahuan berbuah menjadi amaliyah (perbuatan).
Belajar dari pesan Nabi,
sang sulung mengalami proses pendewasaan dini yang saya rasakan. Pendewasaan
dini terletak pada kesadarannya untuk memahami keadaan yang dilalui. Sang
sulung bagiku adalah cerminan dan tokoh bagi adik-adiknya. Mengarahkannya untuk
bisa belajar mendewasakan diri meski belum saatnya kini yang baru berusia 15
tahun tetap dilakukan agar terarah dalam kehidupan masa depannya kelak.
Senin, 13 Maret 2023
Sang Mertua
Abdullah Rahman,
Ayah Mertua Yang Tak Pernah Kutemui Di Dunia
Abdullah Rahman adalah mertua saya yang tidak pernah saya bertemu dengannya.
Karena beliau wafat pada tahun 1999 di saat suami saya masih menempuh kuliah di
semester V. Saya memperoleh kisahnya dari suami saya. Meski saya tidak pernah
mengenalnya, namun dari kisah tentangnya saya memperoleh kesan kuat jika dia
adalah sosok mertua yang dapat menjadi teladan bagi kami dan sosok pendidik
yang hebat.
Nama Abdullah Rahman cukup dikenal di kalangan Muhammadiyah di Kota
Makassar sebagai seorang guru sekolah Muhammadiyah. Meski sebagai seorang guru,
dia adalah seorang qari sehingga setiap pelaksanaan salat pada dua hari raya
menjadi komandan takbiran di Lapangan Awwalul Islam Muhammadiyah Kota Makassar
hingga akhir hayatnya.
Kehidupan
Pribadi dan Keluarga
Dia lahir pada tanggal 27 Desember 1947 di Pangkep, dari seorang ayah
bernama Abdul Rahman Daeng Maneteng dan ibu Daeng Rimang. Konon sang ibu anak
tunggal juragan kapal kaya di pulau itu. Karena saudara-saudaranya meninggal di
Makkah. Ayahnya seorang nelayan yang hanya mengandalkan tangkapan ikan yang
dikeringkan untuk dijual kembali. Tak banyak kisah kelahirannya yang diketahui
kecuali dia baru bisa berjalan saat menginjak usia empat tahun. Abdullah Rahman
sendiri adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Seluruh saudaranya hanya
mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Saudara-saudaranya menikah usia dini.
Pendidikan di kepulauan di era 1950-an tak dapat dinikmati sehingga tak
heran pendidikan dikenyam hanyalah Sekolah Rakyat–setingkat SD–kala itu.
Kehidupan masyarakat yang dihimpit situasi politik dan baru memulai masa
kemerdakaan tidak bisa memenuhi hajat hidup untuk menikmati pendidikan yang
lebih. Sebagai anak bungsa, Abdullah dapat menikmati pendidikan. Dia mengenyam
pendidikan di Sekolah Rakyat di Pangkep. Kemudian setelah menamatkan pendidikan
SR di Pangkep.
Orang tuanya memutuskan hijrah dengan memboyong seluruh keluarganya dari
Pulau Karangrang Pangkep ke kota Makassar tepatnya di kawasan Paotere sebuah
pelabuhan rakyat. Sehingga ia pun melanjutkan pendidikan di SMEP Muhammadiyah
Ujung Pandang di jalan Muhammadiyah yang kini bernama SMK Muhammadiyah 3
Makassar. Selepas pendidikan setingkat SMP, kemudian melanjutkan pendidikan di
SMAN 04 Makassar. Tepatnya saat pembersihan PKI, sehingga sebagai siswa pertama
juga terlibat melakukan aksi pendudukan gedung SMAN 4 Ujung Pandang karena
sebagai salah satu tempat berkumpulnya PKI di Ujung Pandang pada tahun 1966.
Pada saat sekolah, kecintaannya untuk menekuni pengetahuan agama dimulai
sebagai anak masjid Nurul Jamaah di jalan Barukang IV Makassar. Aktif sebagai
jamaah sekaligus juga belajar tilawah pada guru mallagu Abu Hair (bapak Asrar
Abu Hair qari Internasional). Karena berkat keterampilan tilawah yang
dimilikinya, Abdullah Rahman pernah mengikuti MTQ tingkat Provinsi Sulawesi
Selatan pada tahun 1973 dan berhasil menjadi juara II mewakili Kabupaten Pangkep.
Setamat dari SMAN 4 Makassar, keinginannya kuat untuk melanjutkan
pendidikan di Arsitektur Universitas Hasanuddin, tetapi karena terbentur biaya
sehingga akhirnya memilih jurusan Matematika IKIP Ujung Pandang di tingkat
sarjana muda (Bachelor of Art) dan selesai tahun 1970. Sesudah
pendidikan sarjana mudanya, dia mengabdi di SD Pembangunan depan Lapangan
Karebosi, kemudian mengabdi di SPGLB Ujung Pandang. Sebagai aktivis
Muhammadiyah, dia mengabdi di SMP Muhammadiyah 2 Ujung Pandang yang waktu itu
masih berada di jalan Saugi, kini menjadi jalan Tol.
Pada tahun 1974, Abdullah Rahman menikah dengan Sitti Johariah anak seorang
polisi bernama Haji Muhammad Amin. Selama berkeluarga, dia memiliki seorang
putra dan empat orang putri. Semua anak perempuannya diberi nama dengan awalan
nama Sitti Nurul.
Pengabdian
Tanpa Batas
Jejak sebagai seorang guru hingga akhir hayatnya tak dapat diperhitungkan
sebatas pekerjaan, tetapi sebagai pengabdian tanpa batas. Pada tahun 1980,
Abdullah Rahman sebagai perintis SMP Muhammadiyah 10 Ujung Pandang dan menjadi
kepala sekolah selama 12 tahun hingga tahun 1992. Meski berstatus PNS sebagai
guru pada KPG kemudian PGSMTP dan terakhir di SMAN 16 Ujung Pandang, karena
aktivitas di sekolah yang dirintisnya pada saat siang hari. Kepeduliannya
terhadap pendidikan, sehingga mendorong kemenakan-kemenakannya untuk
melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sehingga beberapa kemenakannya wajib
tinggal di rumahnya.
Abdullah Rahman juga terlibat dalam pendirian Pondok Pesantren khusus Putri
Ummul Mukminin Aisyiyah Wilayah Sulawesi Selatan sebagai guru Matematika
kemudian menjadi Wakil Kepala Sekolah SMP Ummul Mukminin bersama H. Andi
Parewangi (bapak Iqbal Parewangi).
Pada tahun 1990, Abdullah Rahman memperoleh penghargaan sebagai guru
teladan II tingkat Kota Ujung Pandang semasa Suwahyo menjadi Walikota Ujung
Pandang kala itu. Dia juga
memperoleh penghargaan pengabdian 25 tahun dalam pendidikan Muhammadiyah dari
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun
1995.
Pada tahun 1995, Abdullah Rahman mengabdi tinggal di Pondok Pesantren Ummul
Mukminin selain sebagai guru sebagai Imam tetap masjid dan imam salat Tahajjud.
Beliau diangkat sebagai Kepala Sekolah SMA
Muhammadiyah 3 Ujung Pandang pada tahun 1997 dan memutuskan mengundurkan diri
pada tahun 1998 karena menganggap tidak berhasil meningkatkan jumlah siswa di
sekolah itu dan kondisi kesehatan juga menurun.
Kesan di Mata Keluarga
Meski sebagai anak bungsu di antara saudara-saudaranya, tetapi kesan
kepemimpinan dalam pengambilan keputusan keluarga sangat tampak di mata
saudara-saudaranya. Setiap ada permasalahan di antara saudara-saudaranya, semua
keputusannya ada pada sosok Abdullah Rahman. Sehingga sering dianggap sebagai
juru bicara dan juru damai. Semua kakak-kakaknya tak berani mengambil keputusan
seperti dalam hal pelamaran jika belum ada keputusan darinya.
Begitu juga di mata anak-anaknya, Abdullah Rahman adalah sosok tegas, keras
dan memiliki prinsip tetapi demokratis dalam hal pendidikan. Prinsipnya semua
anak-anaknya harus belajar mengaji dan sekolah di SD Muhammadiyah dan minimal
SMP di Pondok Pesantren. Namun, dia demokratis dalam keputusan anak-anaknya
untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sikap kerasnya pernah
dirasahkan sang putra tunggalnya Muhammad Abduh saat memulai kuliah di IAIN
Alauddin.
Kala itu pada tahun 1997 sesudah kegiatan pembekalan OSPEK, sang putra
tunggalnya mengeluh karena kerasnya kegiatan OSPEK sehingga dia meminta kepada
kakaknya untuk meminta surat keterangan sakit sebagai alasan untuk tidak
mengikuti OSPEK. Sang bapak yang datang di sore hari di rumah kakaknya kaget
mengapa anaknya tidak mau OSPEK lalu meminta surat keterangan sakit itu lalu menyobeknya
dan membuangnya. Sang putra pun kaget karena biasanya memanjakan anaknya tetapi
ternyata sang bapak sangat keras dalam hal pendidikan terutama dalam hal
seluruh proses pendidikan.
Pengabdiannya sebagai guru, Abdullah Rahman tidak pernah meminta hak
istimewa dan melakukan diskriminasi terutama membela keluarganya yang sebagai
siswanya. Kesan itu sangat tampak dan dialami oleh putri-putrinya ketika mondok
di Ummul Mukminin, dia tidak ingin putri-putrinya gratis ketika di mondok di
tempat dia mengabdi. Begitu juga dalam proses pembelajaran, dia malah lebih keras
kepada keluarganya. Tak heran di kalangan rekan-rekan sejawatnya malah membuat
heran.
“Saya tidak mau bila keluarga saya membuat kasus di tempat saya mengabdi,” katanya.
Sikap kerasnya juga dirasakan oleh seorang putrinya saat dia mendapati
berjalan berombongan dengan siswa Madrasah Aliyah padahal dalam rangka kegiatan
OSIS. Keesokan harinya, Abdullah Rahman menjemput putrinya dari pondok untuk
pulang ke rumah dan tak boleh keluar rumah selama seminggu sebagai hukuman
dirinya. Dia sangat keras dan tegas dalam hal menjaga pergaulan anak-anaknya.
Di balik sikap tegas dan kerasnya, Abdullah Rahman tahu cara memberikan
kegembiraan kepada keluarganya. Bila ada waktu libur, dia selalu mengajak
keluarganya berlibur ke kampung halamannya atau ke empang keluarganya. Jika
hanya libur sehari, dia mengajak keluarganya menaiki bus tingkat untuk keliling
kota. Untuk istrinya, biasanya dia hanya mengajak makan di restoran favorit.
Sifat penyayangnya juga ditunjukkan kepada anak-anaknya setiap kenaikan kelas,
dia mengajak salah satu anaknya untuk pergi ke toko buku untuk membeli
peralatan sekolah.
Kesan kepedulian sangat tampak pula di mata keluarganya, kepedulian
terhadap pendidikan dan ekonomi keluarganya. Seringkali membagi sebagian
rezekinya kepada keluarganya yang kurang mampu meski harus sembunyi-sembungi tanpa
diketahui sang istri. Dalam hal kepedulian terhadap pendidikan, suatu ketika
saat dia masih terbaring di rumah sakit, sang putra menyampaikan keinginannya membeli kamus Arab
Indonesia Al-Munawwir bila dia menerima beasiswa kerja dari Kementerian Agama.
Dia bertanya kepada sang putra, “Berapa harganya?”
Sang putra menjawab, “Delapan puluh empat ribu, pak.”
Dia akhirnya tahu jika sang putra sudah mengecek harga kamus itu. Tetapi
sesaat sang putra keluar dari kamar rumah sakit untuk berangkat kuliah, dia
bangkit sesudah mengambil uang yang terselip di balik bantalnya lalu keluar
memanggil putranya.
“Pakai ini untuk
beli kamus.” Sang putra tak pernah membayangkan akan diberikan uang untuk
membeli kamus karena kondisi bapaknya. Kesan itu sering diingat oleh sang
putra.
Kesan di Kalangan
Kolega
Meski bukan sebagai aktivis organisasi tulen, tapi di kalangan Muhammadiyah
cukup dikenal sebagai sosok guru yang patut untuk diteladani. Abdullah Rahman
sangat menanamkan semangat mencintai pengabdian dan kedisiplinan sebagai
seorang guru sekaligus pendidik. Pengabdiannya ditunjukkan ketika menjadi
Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 10 Ujung Pandang dengan merelakan untuk tidak
mengambil gajinya sebagai kepala sekolah supaya bisa dimanfaatkan untuk
menggaji guru-guru. Karena dia menyadari kondisi sekolah yang memiliki siswa
yang sebagian besar berasal dari kalangan keluarga kurang mampu. Siswa yang
sampai ujian semester pun ada yang belum membayar pembayaran SPP bulanan.
Di kalangan guru-gurunya, dia mengambil keputusan bijak seperti saat
penentuan siapa yang dibiayai oleh sekolah ketika ada kegiatan Muktamar
Muhammadiyah pada tahun 1995. Dia memutuskan dengan melakukan memiliki guru
yang paling rajin. Muhammad Nurdin Talib menceritakan bagaimana dia berhasil
dididik olehnya, “Saya tidak akan seperti sekarang ini jika bukan karena
didikannya, saya masih ingat saat saya disuruh kuliah saat saya baru mengajar
di Madrasah Ibtidaiyah.”
Dalam hal pendidikan di
Muhammadiyah, Abdullah Rahman termasuk sosok penggerak pembangunan kompleks
perguruan Muhammadiyah Karungrung yang terletak di jalan Bonto Daeng Ngirate.
Kompleks Perguruan Muhammadiyah Karungrung dibangun di atas tanah yang dibeli
oleh warga Muhammadiyah Cabang Karungrung. Kala itu, awalnya yang dibangun
hanyalah SD Muhammadiyah Perumnas padahal sudah ada dua sekolah dasar milik
pemerintah yang menghimpitnya. Anak pertama meski sudah sekolah di sekolah
negeri, dia pindahkan ke SD Muhammadiyah Perumnas dan kembali turun kelas menjadi
siswa kelas 1.
Akhir Hayatnya
Kemudian pada tahun 1998 memutuskan kembali ke rumahnya karena kondisi kesehatannya semakin menurun. Pada tahun 1997, dia divonis mengidap penyakit kronis komplikasi Diabetes Melitus dan Anemia Plastik. Sehingga sejak Desember 1998, dia pun bolak balik keluar masuk rumah sakit setiap dua minggu untuk menjalankan transfusi darah karena trombosit sel darah putihnya berkurang. Akhirnya tepat pada saat azan salat Isya dikumandangkan pada tanggal 16 Desember 1999 tepatnya di malam Jumat tanggal 8 Ramadhan tahun 1440 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Tamalanrea Makassar, Abdullah Rahman menghembuskan napas terakhirnya setelah seminggu lamanya bertahan dengan infus oksigen.
Firasatnya sangat kuat seminggu sebelum wafat karena memanggil istri dan anak-anaknya untuk salat istikharah agar Allah Swt. memberikan pilihan terbaik antara disembuhkan total atau melepaskannya untuk wafat. Beliau dimakamkan sesudah salat Jumat pada tanggal 17 Desember 1999 di Pancana Tanete Rilau Kabupaten Barru.
Featured post
Si Gadis Pertama bernama Qonitah
Gadis Pertama Bernama Qonitah Seringkali kami sering ditanya adakah tips khusus memiliki anak berjenis kelamin berselang seling. Saya dan ...
-
Jalan Kokoh Sang Sulung Melahirkannya adalah hadiah pertama bagiku. Seorang anak yang kehadirannya dinanti-nanti untuk mewarnai kehidupan ...
-
Gadis Pertama Bernama Qonitah Seringkali kami sering ditanya adakah tips khusus memiliki anak berjenis kelamin berselang seling. Saya dan ...
-
Abdullah Rahman, Ayah Mertua Yang Tak Pernah Kutemui Di Dunia Abdullah Rahman adalah mertua saya yang tidak pernah saya bertemu dengannya...