Nama Abdullah Rahman cukup dikenal di kalangan Muhammadiyah di Kota
Makassar sebagai seorang guru sekolah Muhammadiyah. Meski sebagai seorang guru,
dia adalah seorang qari sehingga setiap pelaksanaan salat pada dua hari raya
menjadi komandan takbiran di Lapangan Awwalul Islam Muhammadiyah Kota Makassar
hingga akhir hayatnya.
Kehidupan
Pribadi dan Keluarga
Dia lahir pada tanggal 27 Desember 1947 di Pangkep, dari seorang ayah
bernama Abdul Rahman Daeng Maneteng dan ibu Daeng Rimang. Konon sang ibu anak
tunggal juragan kapal kaya di pulau itu. Karena saudara-saudaranya meninggal di
Makkah. Ayahnya seorang nelayan yang hanya mengandalkan tangkapan ikan yang
dikeringkan untuk dijual kembali. Tak banyak kisah kelahirannya yang diketahui
kecuali dia baru bisa berjalan saat menginjak usia empat tahun. Abdullah Rahman
sendiri adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Seluruh saudaranya hanya
mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Saudara-saudaranya menikah usia dini.
Pendidikan di kepulauan di era 1950-an tak dapat dinikmati sehingga tak
heran pendidikan dikenyam hanyalah Sekolah Rakyat–setingkat SD–kala itu.
Kehidupan masyarakat yang dihimpit situasi politik dan baru memulai masa
kemerdakaan tidak bisa memenuhi hajat hidup untuk menikmati pendidikan yang
lebih. Sebagai anak bungsa, Abdullah dapat menikmati pendidikan. Dia mengenyam
pendidikan di Sekolah Rakyat di Pangkep. Kemudian setelah menamatkan pendidikan
SR di Pangkep.
Orang tuanya memutuskan hijrah dengan memboyong seluruh keluarganya dari
Pulau Karangrang Pangkep ke kota Makassar tepatnya di kawasan Paotere sebuah
pelabuhan rakyat. Sehingga ia pun melanjutkan pendidikan di SMEP Muhammadiyah
Ujung Pandang di jalan Muhammadiyah yang kini bernama SMK Muhammadiyah 3
Makassar. Selepas pendidikan setingkat SMP, kemudian melanjutkan pendidikan di
SMAN 04 Makassar. Tepatnya saat pembersihan PKI, sehingga sebagai siswa pertama
juga terlibat melakukan aksi pendudukan gedung SMAN 4 Ujung Pandang karena
sebagai salah satu tempat berkumpulnya PKI di Ujung Pandang pada tahun 1966.
Pada saat sekolah, kecintaannya untuk menekuni pengetahuan agama dimulai
sebagai anak masjid Nurul Jamaah di jalan Barukang IV Makassar. Aktif sebagai
jamaah sekaligus juga belajar tilawah pada guru mallagu Abu Hair (bapak Asrar
Abu Hair qari Internasional). Karena berkat keterampilan tilawah yang
dimilikinya, Abdullah Rahman pernah mengikuti MTQ tingkat Provinsi Sulawesi
Selatan pada tahun 1973 dan berhasil menjadi juara II mewakili Kabupaten Pangkep.
Setamat dari SMAN 4 Makassar, keinginannya kuat untuk melanjutkan
pendidikan di Arsitektur Universitas Hasanuddin, tetapi karena terbentur biaya
sehingga akhirnya memilih jurusan Matematika IKIP Ujung Pandang di tingkat
sarjana muda (Bachelor of Art) dan selesai tahun 1970. Sesudah
pendidikan sarjana mudanya, dia mengabdi di SD Pembangunan depan Lapangan
Karebosi, kemudian mengabdi di SPGLB Ujung Pandang. Sebagai aktivis
Muhammadiyah, dia mengabdi di SMP Muhammadiyah 2 Ujung Pandang yang waktu itu
masih berada di jalan Saugi, kini menjadi jalan Tol.
Pada tahun 1974, Abdullah Rahman menikah dengan Sitti Johariah anak seorang
polisi bernama Haji Muhammad Amin. Selama berkeluarga, dia memiliki seorang
putra dan empat orang putri. Semua anak perempuannya diberi nama dengan awalan
nama Sitti Nurul.
Pengabdian
Tanpa Batas
Jejak sebagai seorang guru hingga akhir hayatnya tak dapat diperhitungkan
sebatas pekerjaan, tetapi sebagai pengabdian tanpa batas. Pada tahun 1980,
Abdullah Rahman sebagai perintis SMP Muhammadiyah 10 Ujung Pandang dan menjadi
kepala sekolah selama 12 tahun hingga tahun 1992. Meski berstatus PNS sebagai
guru pada KPG kemudian PGSMTP dan terakhir di SMAN 16 Ujung Pandang, karena
aktivitas di sekolah yang dirintisnya pada saat siang hari. Kepeduliannya
terhadap pendidikan, sehingga mendorong kemenakan-kemenakannya untuk
melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sehingga beberapa kemenakannya wajib
tinggal di rumahnya.
Abdullah Rahman juga terlibat dalam pendirian Pondok Pesantren khusus Putri
Ummul Mukminin Aisyiyah Wilayah Sulawesi Selatan sebagai guru Matematika
kemudian menjadi Wakil Kepala Sekolah SMP Ummul Mukminin bersama H. Andi
Parewangi (bapak Iqbal Parewangi).
Pada tahun 1990, Abdullah Rahman memperoleh penghargaan sebagai guru
teladan II tingkat Kota Ujung Pandang semasa Suwahyo menjadi Walikota Ujung
Pandang kala itu. Dia juga
memperoleh penghargaan pengabdian 25 tahun dalam pendidikan Muhammadiyah dari
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun
1995.
Pada tahun 1995, Abdullah Rahman mengabdi tinggal di Pondok Pesantren Ummul
Mukminin selain sebagai guru sebagai Imam tetap masjid dan imam salat Tahajjud.
Beliau diangkat sebagai Kepala Sekolah SMA
Muhammadiyah 3 Ujung Pandang pada tahun 1997 dan memutuskan mengundurkan diri
pada tahun 1998 karena menganggap tidak berhasil meningkatkan jumlah siswa di
sekolah itu dan kondisi kesehatan juga menurun.
Kesan di Mata Keluarga
Meski sebagai anak bungsu di antara saudara-saudaranya, tetapi kesan
kepemimpinan dalam pengambilan keputusan keluarga sangat tampak di mata
saudara-saudaranya. Setiap ada permasalahan di antara saudara-saudaranya, semua
keputusannya ada pada sosok Abdullah Rahman. Sehingga sering dianggap sebagai
juru bicara dan juru damai. Semua kakak-kakaknya tak berani mengambil keputusan
seperti dalam hal pelamaran jika belum ada keputusan darinya.
Begitu juga di mata anak-anaknya, Abdullah Rahman adalah sosok tegas, keras
dan memiliki prinsip tetapi demokratis dalam hal pendidikan. Prinsipnya semua
anak-anaknya harus belajar mengaji dan sekolah di SD Muhammadiyah dan minimal
SMP di Pondok Pesantren. Namun, dia demokratis dalam keputusan anak-anaknya
untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sikap kerasnya pernah
dirasahkan sang putra tunggalnya Muhammad Abduh saat memulai kuliah di IAIN
Alauddin.
Kala itu pada tahun 1997 sesudah kegiatan pembekalan OSPEK, sang putra
tunggalnya mengeluh karena kerasnya kegiatan OSPEK sehingga dia meminta kepada
kakaknya untuk meminta surat keterangan sakit sebagai alasan untuk tidak
mengikuti OSPEK. Sang bapak yang datang di sore hari di rumah kakaknya kaget
mengapa anaknya tidak mau OSPEK lalu meminta surat keterangan sakit itu lalu menyobeknya
dan membuangnya. Sang putra pun kaget karena biasanya memanjakan anaknya tetapi
ternyata sang bapak sangat keras dalam hal pendidikan terutama dalam hal
seluruh proses pendidikan.
Pengabdiannya sebagai guru, Abdullah Rahman tidak pernah meminta hak
istimewa dan melakukan diskriminasi terutama membela keluarganya yang sebagai
siswanya. Kesan itu sangat tampak dan dialami oleh putri-putrinya ketika mondok
di Ummul Mukminin, dia tidak ingin putri-putrinya gratis ketika di mondok di
tempat dia mengabdi. Begitu juga dalam proses pembelajaran, dia malah lebih keras
kepada keluarganya. Tak heran di kalangan rekan-rekan sejawatnya malah membuat
heran.
“Saya tidak mau bila keluarga saya membuat kasus di tempat saya mengabdi,” katanya.
Sikap kerasnya juga dirasakan oleh seorang putrinya saat dia mendapati
berjalan berombongan dengan siswa Madrasah Aliyah padahal dalam rangka kegiatan
OSIS. Keesokan harinya, Abdullah Rahman menjemput putrinya dari pondok untuk
pulang ke rumah dan tak boleh keluar rumah selama seminggu sebagai hukuman
dirinya. Dia sangat keras dan tegas dalam hal menjaga pergaulan anak-anaknya.
Di balik sikap tegas dan kerasnya, Abdullah Rahman tahu cara memberikan
kegembiraan kepada keluarganya. Bila ada waktu libur, dia selalu mengajak
keluarganya berlibur ke kampung halamannya atau ke empang keluarganya. Jika
hanya libur sehari, dia mengajak keluarganya menaiki bus tingkat untuk keliling
kota. Untuk istrinya, biasanya dia hanya mengajak makan di restoran favorit.
Sifat penyayangnya juga ditunjukkan kepada anak-anaknya setiap kenaikan kelas,
dia mengajak salah satu anaknya untuk pergi ke toko buku untuk membeli
peralatan sekolah.
Kesan kepedulian sangat tampak pula di mata keluarganya, kepedulian
terhadap pendidikan dan ekonomi keluarganya. Seringkali membagi sebagian
rezekinya kepada keluarganya yang kurang mampu meski harus sembunyi-sembungi tanpa
diketahui sang istri. Dalam hal kepedulian terhadap pendidikan, suatu ketika
saat dia masih terbaring di rumah sakit, sang putra menyampaikan keinginannya membeli kamus Arab
Indonesia Al-Munawwir bila dia menerima beasiswa kerja dari Kementerian Agama.
Dia bertanya kepada sang putra, “Berapa harganya?”
Sang putra menjawab, “Delapan puluh empat ribu, pak.”
Dia akhirnya tahu jika sang putra sudah mengecek harga kamus itu. Tetapi
sesaat sang putra keluar dari kamar rumah sakit untuk berangkat kuliah, dia
bangkit sesudah mengambil uang yang terselip di balik bantalnya lalu keluar
memanggil putranya.
“Pakai ini untuk
beli kamus.” Sang putra tak pernah membayangkan akan diberikan uang untuk
membeli kamus karena kondisi bapaknya. Kesan itu sering diingat oleh sang
putra.
Kesan di Kalangan
Kolega
Meski bukan sebagai aktivis organisasi tulen, tapi di kalangan Muhammadiyah
cukup dikenal sebagai sosok guru yang patut untuk diteladani. Abdullah Rahman
sangat menanamkan semangat mencintai pengabdian dan kedisiplinan sebagai
seorang guru sekaligus pendidik. Pengabdiannya ditunjukkan ketika menjadi
Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 10 Ujung Pandang dengan merelakan untuk tidak
mengambil gajinya sebagai kepala sekolah supaya bisa dimanfaatkan untuk
menggaji guru-guru. Karena dia menyadari kondisi sekolah yang memiliki siswa
yang sebagian besar berasal dari kalangan keluarga kurang mampu. Siswa yang
sampai ujian semester pun ada yang belum membayar pembayaran SPP bulanan.
Di kalangan guru-gurunya, dia mengambil keputusan bijak seperti saat
penentuan siapa yang dibiayai oleh sekolah ketika ada kegiatan Muktamar
Muhammadiyah pada tahun 1995. Dia memutuskan dengan melakukan memiliki guru
yang paling rajin. Muhammad Nurdin Talib menceritakan bagaimana dia berhasil
dididik olehnya, “Saya tidak akan seperti sekarang ini jika bukan karena
didikannya, saya masih ingat saat saya disuruh kuliah saat saya baru mengajar
di Madrasah Ibtidaiyah.”
Dalam hal pendidikan di
Muhammadiyah, Abdullah Rahman termasuk sosok penggerak pembangunan kompleks
perguruan Muhammadiyah Karungrung yang terletak di jalan Bonto Daeng Ngirate.
Kompleks Perguruan Muhammadiyah Karungrung dibangun di atas tanah yang dibeli
oleh warga Muhammadiyah Cabang Karungrung. Kala itu, awalnya yang dibangun
hanyalah SD Muhammadiyah Perumnas padahal sudah ada dua sekolah dasar milik
pemerintah yang menghimpitnya. Anak pertama meski sudah sekolah di sekolah
negeri, dia pindahkan ke SD Muhammadiyah Perumnas dan kembali turun kelas menjadi
siswa kelas 1.
Akhir Hayatnya
Kemudian pada tahun 1998 memutuskan kembali ke rumahnya karena kondisi
kesehatannya semakin menurun. Pada tahun 1997, dia divonis mengidap penyakit
kronis komplikasi Diabetes Melitus dan Anemia Plastik. Sehingga sejak Desember
1998, dia pun bolak balik keluar masuk rumah sakit setiap dua minggu untuk
menjalankan transfusi darah karena trombosit sel darah putihnya berkurang.
Akhirnya tepat pada saat azan salat Isya dikumandangkan pada tanggal 16
Desember 1999 tepatnya di malam Jumat tanggal 8 Ramadhan tahun 1440 di Rumah
Sakit Wahidin Sudirohusodo Tamalanrea Makassar, Abdullah Rahman menghembuskan napas
terakhirnya setelah seminggu lamanya bertahan dengan infus oksigen.
Firasatnya
sangat kuat seminggu sebelum wafat karena memanggil istri dan anak-anaknya
untuk salat istikharah agar Allah Swt. memberikan pilihan terbaik antara
disembuhkan total atau melepaskannya untuk wafat. Beliau dimakamkan sesudah salat
Jumat pada tanggal 17 Desember 1999 di Pancana Tanete Rilau Kabupaten Barru.