Kamis, 16 Maret 2023

Jalan Kokoh Sang Sulung

 Jalan Kokoh Sang Sulung





Melahirkannya adalah hadiah pertama bagiku. Seorang anak yang kehadirannya dinanti-nanti untuk mewarnai kehidupan keluarga. Penantian terindah sesudah pernikahan adalah menanti amanah dari Allah Swt. Sebagai wanita yang sudah menjadi seorang istri, melahirkan anak adalah asa yang tak terbendung. Saya merasakan ujian awal pernikahan, karena belum ada tanda-tanda hamil sesudah dua bulan pernikahan. Sang suami hanya berkata, “mungkin Allah Swt. belum beri kepercayaan buat kita, dek!”. Saya hanya cemburu kepada sahabat yang menikah dua bulan setelah kami.  

Selain alur takdir, kami harus belajar apa penyebab kami belum diberikan keturunan kala itu. Ya Allah, saya baru sadar jika kami berdua mantan penggerak organisasi. Mobilitas organisasi tanpa kenal waktu dan tempat hingga lupa untuk mengontrol kesehatan apatahlagi kesehatan reproduksi. Saya dulunya biasa di organisasi biasa begadang, gemar meminum kopi dan pakaian seadanya tak perlu wangi. Terlebih suami yang lebih kuat begadangnya, penggemar berat kopi dua kali sehari dan pantang tidur sesudah shalat subuh meski kurang tidur di malam hari. Refleksi dari diskusi bersama suami, akhirnya kami memutuskan untuk berikhtiar agar dapat diberikan keturunan. Kami mencari cara tradisional daripada menemui dokter kandungan, karena keadaan ekonomi kami kala itu hanya suami yang bekerja dengan gaji 400 ribu per bulan.

Alhamdulillah, kami mendapat terapi tradisional dari ipar yaitu mengurut kandungan rahim. Adik ipar mengajak kami ke tempatnya di Pare-pare. Dan akhirnya membuahkan hasil pada akhir november 2007. Saya dan suami gembira tak terkira karena dua bulan bagi kami bagai dua tahun untuk menanti tanda-tanda akan kehadiran sang sulung.

Suami yang bekerja sebagai karyawan swasta dengan gaji secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari tak membuat saya mengeluh. Saya harus berhemat kala itu. Saya tak pernah menuntut banyak saat sang sulung dalam kandungan. Inilah karunia Allah Swt. diberikan kepada saya, HAMIL TANPA NGIDAM. Terkadang saya tertawa dengan gaya sang suami, apabila saya menulis sepuluh daftar keinginan. Tapi, hanya satu saja yang dipenuhi. Tetap saya syukuri dan sabarkan. Kami sudah terbiasa mengelola mental dari pengalaman berorganisasi kala masih belajar sebagai mahasiswi.

Ahmad Khawarizmi Raisul Amin,  namanya pada awalnya. Saya melahirkannya di sebuah kamar di rumah dinas kami atas bantuan bidan senior istri sahabat kerja sang suami. Lahir pada tanggal 26 bulan Juni tahun 2008 pukul 23.26 Wita. Sang suami menghafal semua tanggal kelahiran anak-anak kami. Untuk pemberian nama, saya serahkan kepada suami karena dia lebih paham maknanya bila nama Islami yang berasal dari bahasa Arab. Nama sang sulung dirubah sebelum aqiqah karena jumlah suku katanya terlalu panjang. Akhirnya namanya dikurangi menjadi Ahmad Khawarizmi.

Namanya sengaja kami sematkan pada sang sulung dengan harapan bisa mengikuti jejak kakeknya yang notabene pada saat beliau masih hidup berprofesi sebagai guru matematika. Tetapi jalannya kami ikuti sesuai batas kemampuannya. Kecenderungan belajar agama lebih tinggi daripada belajar matematika. Kami mengarahkannya sesudah pendidikan di SD untuk masuk pondok pesantren.

Saya selalu mengingat pesan Rasulullah Saw. Tentang tugas orang tua yang teramat mulia:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya lah yang membuatnya menjadi nashrani, majusi atau Yahudi.”

Wanita sebagai ibu yang menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, memiliki tugas mulia untuk mengasuh dan mendidik anak-anak pada masa emasnya sejak 0 tahun hingga memasuki usia sekolah. Saat usia sekolah, seorang ibu dibantu oleh sekolah untuk mendidik anak-anaknya. Yang berbeda bagi seorang ibu adalah bagaimana menanamkan tiga aspek yaitu afektif (perasaan), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan). Dengan perasaan positif yang dibangun melahirkan kesadaran untuk mengetahui. Dengan pengetahuan berbuah menjadi amaliyah (perbuatan).

Belajar dari pesan Nabi, sang sulung mengalami proses pendewasaan dini yang saya rasakan. Pendewasaan dini terletak pada kesadarannya untuk memahami keadaan yang dilalui. Sang sulung bagiku adalah cerminan dan tokoh bagi adik-adiknya. Mengarahkannya untuk bisa belajar mendewasakan diri meski belum saatnya kini yang baru berusia 15 tahun tetap dilakukan agar terarah dalam kehidupan masa depannya kelak.

Senin, 13 Maret 2023

Sang Mertua




 Abdullah Rahman, 

Ayah Mertua Yang Tak Pernah Kutemui Di Dunia


Abdullah Rahman adalah mertua saya yang tidak pernah saya bertemu dengannya. Karena beliau wafat pada tahun 1999 di saat suami saya masih menempuh kuliah di semester V. Saya memperoleh kisahnya dari suami saya. Meski saya tidak pernah mengenalnya, namun dari kisah tentangnya saya memperoleh kesan kuat jika dia adalah sosok mertua yang dapat menjadi teladan bagi kami dan sosok pendidik yang hebat.

Nama Abdullah Rahman cukup dikenal di kalangan Muhammadiyah di Kota Makassar sebagai seorang guru sekolah Muhammadiyah. Meski sebagai seorang guru, dia adalah seorang qari sehingga setiap pelaksanaan salat pada dua hari raya menjadi komandan takbiran di Lapangan Awwalul Islam Muhammadiyah Kota Makassar hingga akhir hayatnya.

 

Kehidupan Pribadi dan Keluarga

Dia lahir pada tanggal 27 Desember 1947 di Pangkep, dari seorang ayah bernama Abdul Rahman Daeng Maneteng dan ibu Daeng Rimang. Konon sang ibu anak tunggal juragan kapal kaya di pulau itu. Karena saudara-saudaranya meninggal di Makkah. Ayahnya seorang nelayan yang hanya mengandalkan tangkapan ikan yang dikeringkan untuk dijual kembali. Tak banyak kisah kelahirannya yang diketahui kecuali dia baru bisa berjalan saat menginjak usia empat tahun. Abdullah Rahman sendiri adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Seluruh saudaranya hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Saudara-saudaranya menikah usia dini.

Pendidikan di kepulauan di era 1950-an tak dapat dinikmati sehingga tak heran pendidikan dikenyam hanyalah Sekolah Rakyat–setingkat SD–kala itu. Kehidupan masyarakat yang dihimpit situasi politik dan baru memulai masa kemerdakaan tidak bisa memenuhi hajat hidup untuk menikmati pendidikan yang lebih. Sebagai anak bungsa, Abdullah dapat menikmati pendidikan. Dia mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat di Pangkep. Kemudian setelah menamatkan pendidikan SR di Pangkep.

Orang tuanya memutuskan hijrah dengan memboyong seluruh keluarganya dari Pulau Karangrang Pangkep ke kota Makassar tepatnya di kawasan Paotere sebuah pelabuhan rakyat. Sehingga ia pun melanjutkan pendidikan di SMEP Muhammadiyah Ujung Pandang di jalan Muhammadiyah yang kini bernama SMK Muhammadiyah 3 Makassar. Selepas pendidikan setingkat SMP, kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 04 Makassar. Tepatnya saat pembersihan PKI, sehingga sebagai siswa pertama juga terlibat melakukan aksi pendudukan gedung SMAN 4 Ujung Pandang karena sebagai salah satu tempat berkumpulnya PKI di Ujung Pandang pada tahun 1966.

Pada saat sekolah, kecintaannya untuk menekuni pengetahuan agama dimulai sebagai anak masjid Nurul Jamaah di jalan Barukang IV Makassar. Aktif sebagai jamaah sekaligus juga belajar tilawah pada guru mallagu Abu Hair (bapak Asrar Abu Hair qari Internasional). Karena berkat keterampilan tilawah yang dimilikinya, Abdullah Rahman pernah mengikuti MTQ tingkat Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1973 dan berhasil menjadi juara II mewakili Kabupaten Pangkep.

Setamat dari SMAN 4 Makassar, keinginannya kuat untuk melanjutkan pendidikan di Arsitektur Universitas Hasanuddin, tetapi karena terbentur biaya sehingga akhirnya memilih jurusan Matematika IKIP Ujung Pandang di tingkat sarjana muda (Bachelor of Art) dan selesai tahun 1970. Sesudah pendidikan sarjana mudanya, dia mengabdi di SD Pembangunan depan Lapangan Karebosi, kemudian mengabdi di SPGLB Ujung Pandang. Sebagai aktivis Muhammadiyah, dia mengabdi di SMP Muhammadiyah 2 Ujung Pandang yang waktu itu masih berada di jalan Saugi, kini menjadi jalan Tol.

Pada tahun 1974, Abdullah Rahman menikah dengan Sitti Johariah anak seorang polisi bernama Haji Muhammad Amin. Selama berkeluarga, dia memiliki seorang putra dan empat orang putri. Semua anak perempuannya diberi nama dengan awalan nama Sitti Nurul.

 

Pengabdian Tanpa Batas

Jejak sebagai seorang guru hingga akhir hayatnya tak dapat diperhitungkan sebatas pekerjaan, tetapi sebagai pengabdian tanpa batas. Pada tahun 1980, Abdullah Rahman sebagai perintis SMP Muhammadiyah 10 Ujung Pandang dan menjadi kepala sekolah selama 12 tahun hingga tahun 1992. Meski berstatus PNS sebagai guru pada KPG kemudian PGSMTP dan terakhir di SMAN 16 Ujung Pandang, karena aktivitas di sekolah yang dirintisnya pada saat siang hari. Kepeduliannya terhadap pendidikan, sehingga mendorong kemenakan-kemenakannya untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sehingga beberapa kemenakannya wajib tinggal di rumahnya.

Abdullah Rahman juga terlibat dalam pendirian Pondok Pesantren khusus Putri Ummul Mukminin Aisyiyah Wilayah Sulawesi Selatan sebagai guru Matematika kemudian menjadi Wakil Kepala Sekolah SMP Ummul Mukminin bersama H. Andi Parewangi (bapak Iqbal Parewangi).

Pada tahun 1990, Abdullah Rahman memperoleh penghargaan sebagai guru teladan II tingkat Kota Ujung Pandang semasa Suwahyo menjadi Walikota Ujung Pandang kala itu. Dia juga memperoleh penghargaan pengabdian 25 tahun dalam pendidikan Muhammadiyah dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1995.

Pada tahun 1995, Abdullah Rahman mengabdi tinggal di Pondok Pesantren Ummul Mukminin selain sebagai guru sebagai Imam tetap masjid dan imam salat Tahajjud.  Beliau diangkat sebagai Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 3 Ujung Pandang pada tahun 1997 dan memutuskan mengundurkan diri pada tahun 1998 karena menganggap tidak berhasil meningkatkan jumlah siswa di sekolah itu dan kondisi kesehatan juga menurun.

 

Kesan di Mata Keluarga

Meski sebagai anak bungsu di antara saudara-saudaranya, tetapi kesan kepemimpinan dalam pengambilan keputusan keluarga sangat tampak di mata saudara-saudaranya. Setiap ada permasalahan di antara saudara-saudaranya, semua keputusannya ada pada sosok Abdullah Rahman. Sehingga sering dianggap sebagai juru bicara dan juru damai. Semua kakak-kakaknya tak berani mengambil keputusan seperti dalam hal pelamaran jika belum ada keputusan darinya.

Begitu juga di mata anak-anaknya, Abdullah Rahman adalah sosok tegas, keras dan memiliki prinsip tetapi demokratis dalam hal pendidikan. Prinsipnya semua anak-anaknya harus belajar mengaji dan sekolah di SD Muhammadiyah dan minimal SMP di Pondok Pesantren. Namun, dia demokratis dalam keputusan anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sikap kerasnya pernah dirasahkan sang putra tunggalnya Muhammad Abduh saat memulai kuliah di IAIN Alauddin.

Kala itu pada tahun 1997 sesudah kegiatan pembekalan OSPEK, sang putra tunggalnya mengeluh karena kerasnya kegiatan OSPEK sehingga dia meminta kepada kakaknya untuk meminta surat keterangan sakit sebagai alasan untuk tidak mengikuti OSPEK. Sang bapak yang datang di sore hari di rumah kakaknya kaget mengapa anaknya tidak mau OSPEK lalu meminta surat keterangan sakit itu lalu menyobeknya dan membuangnya. Sang putra pun kaget karena biasanya memanjakan anaknya tetapi ternyata sang bapak sangat keras dalam hal pendidikan terutama dalam hal seluruh proses pendidikan.

Pengabdiannya sebagai guru, Abdullah Rahman tidak pernah meminta hak istimewa dan melakukan diskriminasi terutama membela keluarganya yang sebagai siswanya. Kesan itu sangat tampak dan dialami oleh putri-putrinya ketika mondok di Ummul Mukminin, dia tidak ingin putri-putrinya gratis ketika di mondok di tempat dia mengabdi. Begitu juga dalam proses pembelajaran, dia malah lebih keras kepada keluarganya. Tak heran di kalangan rekan-rekan sejawatnya malah membuat heran.

“Saya tidak mau bila keluarga saya membuat kasus di tempat saya mengabdi, katanya.

Sikap kerasnya juga dirasakan oleh seorang putrinya saat dia mendapati berjalan berombongan dengan siswa Madrasah Aliyah padahal dalam rangka kegiatan OSIS. Keesokan harinya, Abdullah Rahman menjemput putrinya dari pondok untuk pulang ke rumah dan tak boleh keluar rumah selama seminggu sebagai hukuman dirinya. Dia sangat keras dan tegas dalam hal menjaga pergaulan anak-anaknya.

Di balik sikap tegas dan kerasnya, Abdullah Rahman tahu cara memberikan kegembiraan kepada keluarganya. Bila ada waktu libur, dia selalu mengajak keluarganya berlibur ke kampung halamannya atau ke empang keluarganya. Jika hanya libur sehari, dia mengajak keluarganya menaiki bus tingkat untuk keliling kota. Untuk istrinya, biasanya dia hanya mengajak makan di restoran favorit. Sifat penyayangnya juga ditunjukkan kepada anak-anaknya setiap kenaikan kelas, dia mengajak salah satu anaknya untuk pergi ke toko buku untuk membeli peralatan sekolah.

Kesan kepedulian sangat tampak pula di mata keluarganya, kepedulian terhadap pendidikan dan ekonomi keluarganya. Seringkali membagi sebagian rezekinya kepada keluarganya yang kurang mampu meski harus sembunyi-sembungi tanpa diketahui sang istri. Dalam hal kepedulian terhadap pendidikan, suatu ketika saat dia masih terbaring di rumah sakit, sang putra menyampaikan keinginannya membeli kamus Arab Indonesia Al-Munawwir bila dia menerima beasiswa kerja dari Kementerian Agama.

Dia bertanya kepada sang putra, “Berapa harganya?”

Sang putra menjawab,Delapan puluh empat ribu, pak.”

Dia akhirnya tahu jika sang putra sudah mengecek harga kamus itu. Tetapi sesaat sang putra keluar dari kamar rumah sakit untuk berangkat kuliah, dia bangkit sesudah mengambil uang yang terselip di balik bantalnya lalu keluar memanggil putranya.

Pakai ini untuk beli kamus.” Sang putra tak pernah membayangkan akan diberikan uang untuk membeli kamus karena kondisi bapaknya. Kesan itu sering diingat oleh sang putra.

 

Kesan di Kalangan Kolega

Meski bukan sebagai aktivis organisasi tulen, tapi di kalangan Muhammadiyah cukup dikenal sebagai sosok guru yang patut untuk diteladani. Abdullah Rahman sangat menanamkan semangat mencintai pengabdian dan kedisiplinan sebagai seorang guru sekaligus pendidik. Pengabdiannya ditunjukkan ketika menjadi Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 10 Ujung Pandang dengan merelakan untuk tidak mengambil gajinya sebagai kepala sekolah supaya bisa dimanfaatkan untuk menggaji guru-guru. Karena dia menyadari kondisi sekolah yang memiliki siswa yang sebagian besar berasal dari kalangan keluarga kurang mampu. Siswa yang sampai ujian semester pun ada yang belum membayar pembayaran SPP bulanan.

Di kalangan guru-gurunya, dia mengambil keputusan bijak seperti saat penentuan siapa yang dibiayai oleh sekolah ketika ada kegiatan Muktamar Muhammadiyah pada tahun 1995. Dia memutuskan dengan melakukan memiliki guru yang paling rajin. Muhammad Nurdin Talib menceritakan bagaimana dia berhasil dididik olehnya, “Saya tidak akan seperti sekarang ini jika bukan karena didikannya, saya masih ingat saat saya disuruh kuliah saat saya baru mengajar di Madrasah Ibtidaiyah.”

 Dalam hal pendidikan di Muhammadiyah, Abdullah Rahman termasuk sosok penggerak pembangunan kompleks perguruan Muhammadiyah Karungrung yang terletak di jalan Bonto Daeng Ngirate. Kompleks Perguruan Muhammadiyah Karungrung dibangun di atas tanah yang dibeli oleh warga Muhammadiyah Cabang Karungrung. Kala itu, awalnya yang dibangun hanyalah SD Muhammadiyah Perumnas padahal sudah ada dua sekolah dasar milik pemerintah yang menghimpitnya. Anak pertama meski sudah sekolah di sekolah negeri, dia pindahkan ke SD Muhammadiyah Perumnas dan kembali turun kelas menjadi siswa kelas 1.

 

Akhir Hayatnya

Kemudian pada tahun 1998 memutuskan kembali ke rumahnya karena kondisi kesehatannya semakin menurun. Pada tahun 1997, dia divonis mengidap penyakit kronis komplikasi Diabetes Melitus dan Anemia Plastik. Sehingga sejak Desember 1998, dia pun bolak balik keluar masuk rumah sakit setiap dua minggu untuk menjalankan transfusi darah karena trombosit sel darah putihnya berkurang. Akhirnya tepat pada saat azan salat Isya dikumandangkan pada tanggal 16 Desember 1999 tepatnya di malam Jumat tanggal 8 Ramadhan tahun 1440 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Tamalanrea Makassar, Abdullah Rahman menghembuskan napas terakhirnya setelah seminggu lamanya bertahan dengan infus oksigen.

Firasatnya sangat kuat seminggu sebelum wafat karena memanggil istri dan anak-anaknya untuk salat istikharah agar Allah Swt. memberikan pilihan terbaik antara disembuhkan total atau melepaskannya untuk wafat. Beliau dimakamkan sesudah salat Jumat pada tanggal 17 Desember 1999 di Pancana Tanete Rilau Kabupaten Barru.



Featured post

Si Gadis Pertama bernama Qonitah

  Gadis Pertama Bernama Qonitah Seringkali kami sering ditanya adakah tips khusus memiliki anak berjenis kelamin berselang seling. Saya dan ...